Tiada Allah menciptakan "binatang berakal" dan binatang "beragama", tetapi begitulah makna manusia yang terasing dari "jatidirinya" terkutuk menjadi "binatang berakal" dan "binatang beragama". Itulah mungkin ciri "manusia yang menjadi makhluk yang senista-nistanya di hadapan Allah".
hanya ilustrasi |
Dengan Aristotelianisme/Euclideanisme (yang mengandung inteligensi rasional, inteligensi artifisial dan inteligensi digital) itulah manusia menyulap dirinya menjadi "binatang berakal" dan "binatang beragama". Ya, inteligensi pikiran kita masih Aristotelian, masih Euclidean, meskipun keduanya sudah mengalami perubahan-perubahan yang cukup benar. Ciri Aristotelianisme/ Euclideanisme adalah beriman pada kebenaran dunia empiris dan rasionalisme sebagai esensi kemampuan aqliyah yang "benar dengan sendirinya". Dan sebagai konsekuensinya : (i) Menolak keabsahan dunia ghaib dan akhlaq sebagai dimensi mandiri, yang berarti munculnya keharusan untuk memisahkan sains dengan agama; (ii) Membenarkan akal untuk "menciptakan sesuatu dari tiada", semacam "generatio spontanea"; (iii) Merebut haq Allah, seakan-akan "ilmu itu bikinan dan hak manusia", (iv) Muncullah "Kanibalisme modern", dimana si kuat dan si kaya berubah menjadi "diyu-diyu pemangsa manusia", sebagaimana terlukis pada wajah-wajah "raksasa, monyet, ular dan kerbau sakti" di dunia pewayangan.
"Binatang berakal" lebih logis ketimbang "binatang beragama", karena "binatang beragama" menanggung beban yang mustahil bisa mereka pikul, tanpa menciderai dirinya. Beban itu sudah dikemukakan oleh Nietzsche, yakni "Jenazah Tuhan" yang harus mereka pikul dimana pun mereka berada. Karena sebenarnya, tiada Allah berada di dunia Aristotelian/Euclidean, sehingga kalau "diadakan" muncullah "jenazah Tuhan", yakni kembalinya kultus berhala di kalangan umat manusia.
Allah berfirman "Agama bukan beban melainkan bimbingan Allah untuk meringankan beban manusia". Tetapi bagi "binatang beragama" firman Allah terbalik, karena agama justru akan menjadi beban yang sangat berat. Ya, tiada Allah menciptakan "binatang beragama"! Allah juga berfirman "Tiada timbul perselisihan dan iri-dengki diantara kaum Ahlul Kitab, kecuali sesudah datangnya ilmu".
Itulah Aristotelianisme/ Euclideanisme yang kini dijadikan tulang punggung inteligensi, keilmuan, yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk menyihir dan membalikkan "Tuhan menjadi Hantu". Dengan inteligensi itulah timbul pertentangan antara Ghazali dan Ibn Rusyd, antara "Tahafut al Falasifah" dengan "Tahafut al Tahafut". Di pihak mana pun Anda berada, pasti anda berada di dunia tahafut! Dalam bentuk itulah "kaum kafir" mungkin saja mempunyai wajah lebih baik ketimbang "kaum beragama" !
Tiada alternatif bagi ummat manusia, kecuali kembali menjadi manusia sebagaimana dikehendaki Allah, manusia yang mengandung Al Fithrah sebagai mesin inteligensi yang harus dimiliki oleh hamba dan khalifah Allah di bumi. Ketahuilah bahwa : (i) Al-Qur'an itu isi Al Fithrah. (ii) Tetapi mustahil Al-Qur'an sebagai isi Al Fithrah bisa diinstalasikan, karena Al Fithrah sudah kotor dan berisi "pirantilunak pikiran" atau "Sistem Operasi Inteligensi" yang disebut "Aristotelianisme/ Euclideanisme". (iii) Kita harus membersihkan Al Fithrah melalui syariat agama yang berinti pada dzikrullah. (iv) Kita juga harus mengenal apa anti Al-Qur'an sebagai "isi Al Fithrah", "pirantilunak pikiran", atau "ilmu berpikir". (v) Syarat mengenal Al-Qur'an sebagai "ilmu berpikir" adalah mengenal makna yang tersembunyi dalam sistematika surah atau konstruksinya. (vi) Dan syarat mengenal sistematika Al-Qur'an atau konstruksi Al Qur'an adalah kemampuan kita untuk "membuka Al-Qur'an", untuk "membuka Al Fithrah" dan penutupnya, yang disebut "Al Muzammil" dan "Al Mudatsir" (vii) Kunci untuk membuka Al Fithrah ada dua : Pertama, "shalat tahajjud" yang diletakkan pada surah Al Muzammil (73) ayat 2. Kedua, "angka sandi 19" yang diletakkan pada surah Al Mudatsir (74) ayat 30.
Mungkin "manusia berakal dan manusia beragama" tersirat dalam judul surah "Al An'aam", surah 6, karena surah ini mempunyai kelas yang sama dengan surah An Naas (114). Di lain pihak, dalam bahasa ummat Kristen seorang Nabi atau pembimbing ummat disebut sebagai "gembala". Dengan sendirinya, ummat mempunyai analogi dengan "ternak". Dihubungkan dengan studi "asas prioritas" menjelang tahap tinggal landas, nampak adanya petunjuk bagaimana asas prioritas itu condong ke dimensi duniawi, atau bahkan tidak terkait dengan dimensi ukhrawi (lihat Bab-5). Muncullah kiprah pembangunan yang menyimpang dari kehendak-Nya, dan jadilah manusia sebagai "binatang berakal dan binatang beragama", dipertajam dengan kemilau dunia empiris yang tersentuh oleh Sang Duit dan Sang IPTEK, yang berangsur-angsur berubah menjadi Ilah yang bukan Allah! Alternatif lain tidak ada !
------------
Sebuah mukadimah Dr. Hidayat Nataatmadja. Inteligensi Spiritual. (Depok: Intuisi Press, 2003) hlm xxxii
0 Response to "Inteligensi Binatang Berakal dan Binatang Beragama"
Post a Comment
Kritik dan sarannya dipersilahkan...! No pising, no spam, tidak singgung sara.... :)
"bagikan komentar berpahala, tidak berkomentar tidak berdosa."