Mazhab Khawarij muncul bersamaan dengan mazhab Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Pada awalnya, pengikut kedua mazhab ini adalah para pendukung Ali. Di sini akan dipaparkan beberapa hal yang dianggap penting yang berkenaan dengan Aliran Khawrij.
A. Pengertian
Nama Khawarij berasal dari kata Kharaja yang berarti keluar. Semula khawarij adalah golongan politik yang menolak sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima Arbitrase penyelesaian sengketa antara Ali sebagai khalifah dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menuntut khalifah.
Meskipun mereka semula adalah pengikut setia Ali, tapi akibat politik penolakan mereka atas sikap Ali dalam Arbitrase itu, mereka lalu keluar dari kelompok Ali dan membentuk golongan sendiri yang kemudian dikenal dengan khawarij.
Golongan ini disebut juga dengan nama haruniah, karena mereka yang berjumlah 12.000 orang itu memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru di suatu kampung yang bernama Harura.[1]
Mazhab khawarij untuk pertama kali muncul dikalangan tentara Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan Ali dan Pasukan Mu’awiyah. Ketika merasa terdesa oleh pasukan Ali, Mu’awiyah merencanakan untuk mundur, tetapi kemudian terbantu dengan munculnya pemikiran untuk melakukan tahkim.
Tentara mu’awiyah mengacung-acungkan Alkur-an agar mereka ber-tahkim dengan Al-Qur’an. Namun, Ali tetap melanjutkan peperangan sampai ada yang kalah dan menang, maka keluarlah sekelompok orang dari pasukan Ali menuntut agar ia menerima usulan tahkim. Dengan terpaksa Ali menerima usulan itu.
Kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat seorang hakim dari masing-masing. Mu’awiyah memilih ’Amribn Al-’Ash. Sementara itu, ’Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn ”Abbas, tetapi atas desakan pasukannya yang keluar itu, akhirnya mengangkat Abu Musa Al-Asy’ari.
Upaya tahkim akhirnya berakhir dengan suatu keputusan, yaitu menurunkan ’Ali dari jabatan khalifah dan mengukuhkan Mu’awiyah menjadi penggantinya.
Hasil tahkim ini lebih menguntungkan para pendukung pemberontak yang dipimpin mu’awiyah. Anehnya, kelompok yang semula memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka itu, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar.
Kemudian mereka menuntut ’Ali agar bertaubat karena dipandang telah berbuat dosa besar. Menurut mereka, ’Ali yang menyetujui untuk ber-tahkim telah menjadi kafir, sebagaimana mereka juga telah menjadi kafir, tetapi kemudian bertaubat.
Pandangan kelompok ini kemudian diikuti oleh orang-orang Arab pegunungan. Semboyan mereka yang terkenal ialah ”Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Mereka kemudian memerangi ”Ali, setelah terlebih dahulu berdialog dengan ”Ali, kemudian mengukuhkan pendapatnya.
Khawarij adalah golongan yang paling gigih membela madzhab dan mempertahankan pendapatnya, serta pada umumnya ketat beragama dan paling mudah menyerang pihak lain. Dalam menyerang pihak lain, mereka menggunakan alasan dari pengertian lahir (tekstual) dari lafaz-lafaz al-Qur’an yang menyakini bahwa pengertian lahir itulah agama yang suci yang tidak boleh dilanggar oleh sorang mu’min. Benak mereka telah dikuasi oleh semboyan , ”Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hukum. Setiap kali melihat ”Ali berbicara, mereka langsung mematahkannya dengan semboyan itu.[2]
Seorang yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani dapat mempengaruhi golongan ini untuk menggulingkan pemerintahan Mu’awiyah di Parsi. Setelah Khawarji ini berkembang selama dua abad, datang pulalah saat runtuhnya, lenyap sampai masa kini.
Dimasa jayanya, dalam aliran ini timbul beberapa perpecahan-perpecahan. Tetapi dalam garis pokoknya, tetap pada persamaan pendirian, yaitu:
1. Bahwa : Ali, Usman dan orang-orang yang setuju adanya perundingan antara Ali dan Mu’awiyah semua dihukumkan orang-orang kafir.
2. Bahwa : setiap ummat Muhammad yang terus menerus membuat dosa besar, ehingga mestinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka. Disamping itu, ada golongan yang menyebut dirinya golongan Majadat, mereka tidak menghukumkan orang-orang yang demikian : Kafir total, hanya kafir terhadap nikmat Tuhan saja.
3. Bahwa: Boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara-negara itu seorang yang zalim atau khianat.[3]
Pada umumnya aliran khawarij menyatakan wajib adanya khalifah atau imam dalam suatu masyarakat Islam, dan umat wajib tunduk dan patuh kepadanya selama khalifah berdiri atas hukum-hukum syari’at. Dari pendirian inilah, mereka tunduk dan patuh kepada khalifah Abu Bakar dan Kahlifah Umar. Adapun terhadap Utsman Ibnu Affan mereka tolak sejak tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya. Sedangkan Ali ditolak sejak Ali melaksanakan tahkim.[4]
Dalam lapangan ketata-negaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota bangsa quraisy saja, bahkan bukan hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asal orang Islam, sekalipun hamba sahaya yang berasal dari Afrika.
Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannyaselama ia bersikap adil dan menjalankan syari;at Islam. Tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia wajib dijatuhkan atau dibunuh.[5]
B. Beberapa prinsip yang disepakati Aliran-aliran khawarij
Sebenarnya prinsip mereka merupakan menifestasi dari cara dan kedangkalan berpikir serta kebencian mereka terhadap suku quraisy dan semua kabilah mudhar.
Prinsip khwarij yang pertama, dan ini paling tegas adalah pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi, seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan, jika ia menyimpang ia wajib dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga arab tertentu, bukan monopoli suku quraisy sebagaimana dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang arab dengan menapikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama, khwarij bahkan mengutarakan non quraisy untuk memegang jabatan khalifah. Alasannya, apabila seorang khalifah melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada panatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewaririnya, berdasarkan prinsip ini mereka memilih Abdullah Ibn Wahhab al-Rasyibi, seorang Non-Quraisy, untuk menjadi khalifah dan menggelarinya dengan amirul mu’minin.
Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkatan khalifah tidak diperluan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jika masyarakat berpendapat bahwa masalah mereka tidak dapat diselesaikan dengan tuntas tanpa seorang imam (khalifah) yang dapat membimbing masyarakat ke jalan yang benar. Maka ia boleh diangkat. Pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah seuatu kewajiban berdasarkan syari’at, tetai hanya bersifat kebaktian. Kalaupun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban itu berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdoosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.
Khawarij menetapkan bahwa orang yang meninggalkan haji menjadi kafir. Karena meninggalkan haji adalah dosa, maka yang berdosa menjadi kafir. Firman Allah:
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Q.S. Al-Maidah 5 : 44)[6]
C. Pertentangan di Kalangan Khawarij
Prinsip-prinsip diatas disepakati oleh semua aliran khwarij, sedangkan pada prinsip yang lain mereka banyak berbeda pendapat. Perbedaan itu dapat muncul di antara mereka hanya karena masalah yang sepele.
Barangkali inilah rahasia yang menimbulkan banyak kekacauan di antara mereka, disamping mereka memang gemar berperang.
Al-Mihlab Ibn Abi Shafrah, seorang panglima perang Mu’awiyah, dalam menghadapi pasukan khwarij selalu memanfaatkan perbedaan pendapat itu untuk memporak-porandakan kesatuan mereka. Apabila melihat mereka sedang bersatu, Al-Mihlab mengambangkan isu yang dapat menciptakan perpecahan di antara mereka bersatu, Al-Mihlab mengembangkan isu yang dapat menciptakan perpecahan di antara mereka.[7]
D. Ciri-Ciri Perdebatan Khawarij
Penganut Khawarij memiliki beberapa sifat yang menjadikan mereka golongan pendebat yang memperdebatkan alasan lawan. Mereka sangat kuat dalam memegang pendapat walaupun pendapat itu sangat picik. Orang awam sulit membedakan pendapat mereka antara yang benar dan yang bnatil.
Di dalam perdebatan dan ucapan mereka terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
1. Fasih dan lancar berbicara, serta menguasai metode penyajian. Mereka adalah orang-orang yang tegar, tidak gentar menghadapi lawan dan tidak terhalang oleh pikiran yang sempit.
2. Kelompok itu berusaha mempelajari Al-Qur’an dan sunnah, serta memahami hadist dan tradisi Arab dengan tekun, penjelasan yang terang, dan semangat yang tinggi.
3. Mereka menyenangi perdebatan dan diskusi tentang sya’ir dan ungkapan-ungkapan Arab. Mereka suka berdiskusi dengan walan walaupun sedang dalam masa perang.
4. Pemahaman mereka diluputi fanatisme. Penganut khawarij tidak akan menerima pendapat lawan mereka walaupun pendapat itu dekat kepada kebenaran.
5. Kaum khawarij senantiasa berpegang pada makna lahir al-qur’an tanpa mau mengkaji maksud, tujuan, dan konteks nash.[8]
E. Aliran-Aliran Khawarij.
Beberapa aliran ini disebabkan oleh banyaknya perbedaan pendapat diantara mereka yang kadang-kadang hanya masalah sepele dan masing-masing mempertahankan pendapatnya.
1. Azariqah
Aliran ini dipimpin oleh nafi’ ibn al-Azraq yang berasal dari bani Hanifah.
- Mereka memandang orang yang berbeda aliran dengan mereka adalah musyrik, kekal di neraka serta halal diperangi dan dibunuh.
- Wilayah orang yang berbeda dengan aliran azariqah adalah wilayah perang (dar al-harb)
- Anak-anak selain aliran azariqah adalah kekal di neraka. Dll.
2. Najdah
Pemimpin aliran ini adalah Najdah ibn uwaimir yang berasal dari Bani Hudzaifah.
- Aliran Najdah mengatakan bahwa mereka halal di perangi sebagaimana orang muslimin
- Mengangkat imam bukan wajib karena syari’at telah menggariskannya, tapi karena kemaslahatan.
3. Shafriyyah
Aliran ini adalah pengikut Ziyad ibn al-Ashpar. Mengenai pelaku dosa besar, mereka tidak sependapat dengan aliran Azariqah, yang memandang pelakunya menjadi musyrik. Sekelompok dari aliran ini berpendapat bahwa dosa-dosa yang dapat dikenakan hukuman had terhadap pelakunya tidak sampai melampaui sebutan yang diberikan Allah kepada mereka, yaitu pezina, pencuri. Sedangkan pelaku yang tidak ada had nya adalah kafir.
4. ’Ajarridah
Aliran ini dipimpin oleh ”Abdul Karim Ibn ”Afrad .
- Boleh mengangkat seseorang menjadi pemimpin jika diketahui orang tersebut adalah penganut khawarij yang bertakwa walaupun ia tidak ikut perang.
- Harta orang lain tidak boleh dikuasai sewenag-wenang dan hanya boleh merampas harta orang yang berlain paham jika orang tersebut diperangi, sedangkan lawan itu tidak boleh diperangi kecuali jika mereka menyerang ’Ajaridah.
5. Ibadhiyyah
Aliran ini dipimpin oleh Abdullah nibn Ibadh. Beberapa pendapat mereka yang menonjol adalah:
a. Orang Islam yang berbeda paham dengan mereka bukan orang musyrik tetapi juga bukan orang mukmin. Meereka menamakannya dengan orang kafir, yaitu kafir akan nikmat, bukan kafir dalam keyakinan.
b. Haram memerangi orang yang tidak sepaham dengan aliran Ibadhiyyah, dan wilayah mereka adalah wilayah tauhid dan Islam.
c. Harta rampasan dari kaum muslimin yang menjadi lawan mereka haram di ambil, kecuali kuda, senjata dan perlengkapan perang lainnya, sedangkan emas dan perak harus dikembalikan.
d. Orang yang berbeda pendapat dengan Ibadhiyyah, dapat menjadi saksi dalam suatu perkaran, boleh menikahi mereka, serta saling mewarisi antara mereka dengan penganut khwarij lainnya tetap berlaku.[9]
F. Aliran-aliran khawarij yang dipandang keluar dari Islam
Mazhab khawarih telah tumbuh dan berkembang dengan cara yang keeras dalam memahami ajaran Islam. Hal itu terutama disebabkan keinginan mereka yang kuat agar kebaikan dapat terlaksana, baik bagi mereka maupun dengan mengajak orang lain.
Orang yang beriman secara benar tidak akan mengkajikan penganut mazhab khawarij walaupun khawarij memandang orang lain sesat. Itulah sebabnya Ali berwasiat kepada para pengikutnya agar tidak memerangi khawarij setelah ia wafat. Dengan alasan bahwa orang uang mencari kebenaran tetapi salah, berbeda dengan orang yang mengusahakan kebathilan dan mencapai.
Masalahnya, disamping khawarij yang esktrim itu , timbul aliran-aliran yang pendapatnya sedikitpun tidak termasuk ajaran Islam serta bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
Diantara mereka ada 2 kelompok yang prinsip-prinsip ajarannya keluar dari ajaran Islam yaitu:
a. Yazidiyyah
Aliran ini semula adalah pengikut aliran Ibadhiyyah, tetapi kemudian berpendapat bahwa Allah akan mengutus seorang rasul dari kalangan luar Arab yang akan diberi kitab yang akan menggantikan Syari’at Muhammad.
b. Maimuniyyah
Aliran ini dipimpin oleh Maimun al-Ajradi. Aliran ini membolehkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dan anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki dan sadara perempuan.[10]
G. Kesimpulan
Khawarij adalah golongan yang keluar dari golongan Ali, disebabkan Ali menerima sarbitrase dalam penyelesaian sengketa antara Ali sebagai khalifah dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang mentut khalifah. Meskipun mereka semua adalah pengikut Ali.
Penolakan mereka terhadap Ali diikuti dengan perlawanan fisik. Khawarij itu terdiri dari orang-orang Badui yang hidupnya bersahaja dengan kesederhanaan berfikir fanatik dan sikapnya yang keras.
0 Response to "ALIRAN KHAWARIJ"
Post a Comment
Kritik dan sarannya dipersilahkan...! No pising, no spam, tidak singgung sara.... :)
"bagikan komentar berpahala, tidak berkomentar tidak berdosa."