Pemerintahan Orde Baru

Latar Belakang Lahirnya Orde Baru

Sampai beberapa bulan setelah usaha kudeta 1965, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Tidak adanya penyelesaian dalam aspek politik dari presiden Soekarno terhadap pelaku pemberontakan mengakibatkan menurunnya popularitas dan wibawa presiden. Meskipun presiden membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam gerakan 30 September 1965, tetapi presiden belum melakukan tindakan apapun terhadap PKI,

1. Tritura

Keadaan ekonomi, politik, dan keamanan semakin bertambah kacau. Harga barang-barang semakin naik dan inflasi sangat tinggi hingga mencapai 600%. Usaha pemerintah mengadakan devaluasi rupiah dan menaikkan harga bahan bakar mengakibatkan keresahan rakyat. Dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk 25 Oktober 1965, masyarakat menuntut pemerintah mengambil sikap tegas. Pembersihan PKI dan ormas-ormasnya. yang dilakukan masyarakat mendorong dibentuknya kesatuan-kesatuan aksi yang bergabung dalam Front Pancasila.

Front Pancasila mengadakan aksi turun ke jalan, yang terjadi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota besar lainnya. Pada tanggal 10 Januari 1966, aksi berlangsung di halaman gedung DPR-GR mengajukan tiga tuntutan rakyat yang dikenal sebagai Tritura. Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI, dan penurunan harga.

Presiden Soekarno berpidato di radio pada bulan Januari 1966, menyerukan semua rakyat mengikutinya. Sementara Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, mengajukan gagasan pembentukan Barisan Pendukung Soekarno. Namun, rencana itu tidak mendapat dukungan dari tentara.
Presiden Soekarno melakukan usaha terakhir untuk menyelamatkan pemokrasi Terpimpin pada 21 Februari 1966 dengan mengadakan reshuffle
Kabinet Dwikora menjadi
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Karena jumlahnya yang mencapai hampir 100 orang, maka kabinet itu disebut pula Kabinet Seratus Menteri. Pada hari pelantikan kabinet tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa

2. Surat Perintah 11 Maret 1966

Pada 11 Maret 1966 diadakan sidang paripurna kabinet yang bertujuan mencari solusi dari masalah-masalah yang bergejolak ketika itu. Sementara itu, para mahasiswa memboikot jalannya sidang di luar istana presiden. Di antara-pasukan-pasukan yang menjaga daerah sekitar istana, terdapat sepasukan RPKAD tanpa tanda pengenal di seragamnya, sehingga pasukan pengawal presiden melaporkan seolah-olah ada pasukan liar di sekitar istana.

Presiden segera meninggalkan sidang menuju Istana Bogor ditemani Soebandrio dan Chaerul Saleh. Pimpinan sidang diserahkan pada dr. J. Leimena yang segera menutup sidang tanpa melakukan pembahasan masalah-masalah negara karena situasi sudah tidak kondusif. Malam harinya, tiga jenderal yang bertindak sebagai utusan Soeharto pergi menemui presiden. Mereka adalah Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Machmud. Mereka berusaha meyakinkan Soekarno bahwa ABRI khususnya TNI AD tetap siap sedia mengatasi keadaan apabila Soekarno memberi kepercayaan penuh.

Peralihan Kekuasaan Politik

Penataan kehidupan Orde Baru dilanjutkan dengan mengembalikan fungsi MPRS sebagai lembaga tertinggi negara. MPRS kemudian mengadakan Sidang Umum IV pada 20 Juni-6 Juli 1966. Pada sidang tersebut surat Perintah 11 Maret dikukuhkan sebagai ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Ketetapan itu memberi wewenang kepada Letjen Soeharto selaku Menteri/Panglima AD mengambil tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi. Selain itu, sidang MPRS juga menghasilkan beberapa ketetapan sebagai berikut.
  • Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran dan larangan terhadap PKI dan ormasnya serta larangan ajaran Marxisme-Leninisme.
  • Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang pemilihan umum yang diselenggarakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
  • Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan kabinet Ampera.

Kabinet Ampera secara formal dipimpin oleh presiden, tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin Ketua Presidium, Letjen Soeharto. Letjen Soeharto berhasil membentuk Kabinet Ampera yang diresmikan tanggal 28 Juli 1966 dengan jangka kerja selama dua tahun. Adapun tugas pokok Kabinet Ampera disebut Dwi Dharma, sedangkan program kabinet dikenal dengan sebutan Catur Karya yang terdiri atas
  1. memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang pangan,
  2. melaksanakan pemilihan umum,
  3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional,
  4. melanjutkan perjuangan anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Perkembangan Pemerintahan Orde Baru

1.  Penataan Kehidupan Politik Dalam Negeri

Pada bulan Maret 1968 MPRS mengadakan sidang lagi dan memilih Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun. Sidang Umum MPRS V menghasilkan keputusan, antara lain menetapkan Jenderal Soeharto sebagai presiden RI melalui Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968.

a. Kabinet Pembangunan
Melalui Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 Kabinet Pembangunan ditetapkan. Pelantikan kabinet dilakukan bulan Juni 1968, yang diisi lebih banyak teknokrat sipil daripada militer. Tugas kabinet pembangunan disebut Pancakrida, yang meliputi
  • penciptaan stabilitas politik dan ekonomi,
  • penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun tahap pertama,
  • pelaksanaan pemilihan umum,
  • pengikisan habis sisa-sisa G 30 S/PKI,
  • pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.


b. Pemilihan Umum 1971
Pelaksanaan pemilihan umum yang bersitat langsung, umum, babas, dan rahasia dibahas pula dalam Sidang Umum MPRS V tahun 1968. Selambat-lambatnya pemilu diselenggarakan 5 Juli 1968. Pada praktiknya pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971.

Memasuki tahun 1971, partai politik giat melakukan kampanye menghadapi pemilihan umum pertama pada masa Orde Baru. Partai politik yang mengikuti pemilu 1971 adalah Partai Nasional Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Nandlatul Ulama, Golongan karya, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, IPKI, Partai Muslimin Indonesia, Partai Murba, dan Perti. Konsolidasi Sekber Golkar membawa keberhasilan. Golkar menang dalam pemilu 1971, dengan perolehan suara sekitar 34 juta dari 57 juta pemilih yang sah.


Tabel perolehan suara pada pemilu 1971. (Sumber: www.kpu.go.id)

2.  Penataan Hubungan Luar Negeri

Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia sadar bahwa untuk mewujudkan cita-cita bangsa perlu bekerja sama dengan bangsa lain. Oleh karena itu, pada 20 September 1966 RI kembali menjadi anggota PBB dengan mengirimkan delegasi ke Sidang Majelis Umum PBB. Sebelumnya Indonesia keluar dari keanggotaan PBB karena terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Penolakan tersebut berawal dari pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris. Hubungan Indonesia—Malaysia baru dinormalisasi pada 11 Agustus 1966 dengan ditandatanganinya persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Di samping itu, Indonesia juga memprakarsai dibentuknya organisasi kerja sama regional bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada tanggal 8 Agustus 1967. Association of South-East Asian Nations (ASEAN) ini beranggotakan Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Kebijakan Pemerintah Orde Baru

Setelah berhasil melakukan stabilisasi di bidang politik, maka tujuan utama pemerintahan Orde Baru adalah pembangunan nasional. Presiden Soeharto mengajukan rencana Pembangunan Lima Tahun pada 1 April 1969. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu
  • pertumbuhan ekonomi,
  • pemerataan pembangunan,
  • stabilitas nasional.

Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Selanjutnya dalam Pola Dasar Pembangunan Nasional ditentukan pula asas-asas dasar, modal dasar, dan faktor-faktor dominan dalam melaksanakan pembangunan. Agar terjadi pemerataan pembangunan, maka sejak Pelita III pemerintah mencanangkan Delapan Jalur Pemerataan yang terdiri atas hal-hal berikut.
  1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
  2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
  3. Pemerataan pembagian pendapatan.
  4. Pemerataan kesempatan kerja.
  5. Pemerataan kesempatan berusaha.
  6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalann pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan.
  7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
  8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Menguatnya Peran Negara pada Masa Orde Baru 

Orde Baru ialah suatu tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan pada pelaksanaan kernurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan visi itu, Orde Baru membangun pondasinya, yang pada perkembangan selanjutnya memberi kekuasaan pada lembaga kepresidenan yang semakin besar. Secara tidak langsung kondisi itu mendorong makin menguatnya pula peran negara dalam masyarakat.

Menguatnya peran negara pada kehidupan masyarakat memiliki dampak positif, di antaranya adalah peningkatan pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas pemerintahan Orde Baru. Situasi keamanan di Indonesia pun relatif aman dan terjaga dengan baik, karena pernerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Menyadari akan pentingnya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekuen, pada tahun 1977 presiden mengajukan gagasan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Gagasan tersebut direalisasikan oleh MPR yang mengukuhkan P4 dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978. Selain dampak positif, penguatan peran negara juga memberi dampak negatif, terutama karena kebijakan yang terlalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Muncul kesenjangan ekonomi akibat konglomerasi serta tumbuhnya budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Di bidang politik terbentuk pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan sentralistis.

Dampak Revolusi Hijau dan Industrialisasi pada Masa Orde Baru

Revolusi hijau (green revolution) dapat diartikan sebagai pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi. Metode yang digunakan adalah penggunaan pupuk, peningkatan irigasi, pemberantasan hama dan penyakit, serta penggunaan varietas tanaman yang lebih unggul. Di masa Orde Baru, revolusi hijau dilaksanakan secara sistematis dengan melakukan penyuluhan dan bimbingan kepada petani. Pemerintah juga mendorong program ekstensifikasi dengan membuka lahan-lahan baru, dan program intensifikasi. Upaya-upaya pemerintah meningkatkan produksi pertanian dapat dikatakan berhasil, bahkan pada tahun 1985 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberi manfaat bagi sektor pertanian untuk meningkatkan indsutri pangan. Penggunaan pupuk buatan dan zat-zat kimia untuk memberantas hama penyakit berhasil meningkatkan produksi pertanian. Teknologi dimanfaatkan pula dalam mempercepat proses pengolahan lahan, seperti digunakannya traktor. Akan tetapi, penggunaan pupuk buatan dan pestisida secara berlebihan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, terutama pada tanah dan air.

Referensi: Suhartono. Sejarah Program IPS untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Dian Rakyat, 2010. Hlm 75

Semoga artikel tentang Pemerintahan Orde Baru ini dapat bermanfaat sebagai tugas sekolah ataupun sekedar bahan referensi.

0 Response to "Pemerintahan Orde Baru"

Post a Comment

Kritik dan sarannya dipersilahkan...! No pising, no spam, tidak singgung sara.... :)
"bagikan komentar berpahala, tidak berkomentar tidak berdosa."

Lisensi Creative Commons